Di Bangku itu....

Ketika cinta rahasia tak terbalas, sakit masih bisa di lalui...hanya cara melaluinya lah yang terkadang penuh rintangan.... di situ teruji sebesar apa rasa cinta yang terasa.... dan sekuat apa perasaan itu tumbuh.... apakah dapat diperjuangkan.... atau harus direlakan dan tersimpan.... dalam hati saja.... tanpa bisa terungkap.... .

Terik mentari yang menyengat, bagai ribuan jarum menusuk lembut di kulit yang tak terlindungi. Tapi tajamnya jarum itu sama sekali tak melukai apapun yang disentuhnya. Malah ia menyebarkan sejuta keindahan dan kenyamanan dalam hangatnya pagi yang cerah.


Kulalui jalan setapak yang jauh terbentang di tengah keramaian mesin-mesin yang berlarian. Suara- suara ricuh teredam oleh dinding kedap suara yang terbuat dari kesunyian hati. Semua terlihat seperti pantomim, hanya berupa tubuh bergerak, berlari, dan beraktifitas tanpa suara. Pandanganku pun tak berwarna, hanya hitam, putih dan abu-abu. Kemana semua keindahan yang dulu kurasa itu. Suara mesin yang berisik, suara yang terdengar parau, warna-warni khalayak. Semua benar-benar hilang dariku. Semua sensor dalam tubuhku sudah tak mendeteksi apapun. Mati. Sepi. Sendiri.
Kenapa ini?
Apa ini yang namanya patah hati?
Yang disebut orang sakit hati?
Aku tak bisa mengerti semua keadaan ini. Keadaan asing yang paling asing dan terasing yang pernah aku alami. Keadaan yang benar-benar membuat bulu kudukku berdiri seketika setiap detik. Keadaan buruk yang aku alami.
Aku berharap jangan sampai ada seorang pun yang merasakan semua ini. Cukup aku saja. Cukup untuk merasakan betapa hampanya keadaan ini. Betapa suramnya pikiran ini. Dan betapa gilanya suasana galau ini.
Akhirnya aku menemukan sebuah tempat untukku melepas sejenak beban ini. Sebuah bangku, bangku yang cukup panjang untuk diriku yang sendiri. Dengan pemandangan yang cukup untuk memanjakan sekejap pikiran gilaku. Sebuah danau kecil dengan beberapa bunga teratai ungu yang masih belum mekar sebagian. Danau yang airnya tidak terlalu jernih, tapi cukup membahagiakan ikan-ikan air tawar yang sesekali terlihat menunjukkan kehebatannya berlompatan di udara. Disekitar danau terbentang sebuah taman dengan rumputnya yang hijau. Dan beberapa pohon besar yang rindang, melindungi komunitas yang ada di taman itu.

Kupandangi sejenak pemandangan ini. Sambil menikmati pantomim di sekitarku dan warna-warna alam yang masih tersisa di memori otakku. Kucoba menghirup udara sekitarku untuk melepas kepenatan yang memenuhi kepalaku ini. Kubiarkan sedikit udara segar menyentuh pikiranku. Berusaha melepas pekat yang menyelubungi otakku. Dan kurasakan aliran darahku pun sedikit membaik dan nafasku pun mulai teratur.

Keheningan dan keramaian, aku tak bisa lagi membedakan suasana yang ada di sekitarku. Benar-benar hampa. Tak ada yang berarti untuk hidupku saat ini, kepalaku penuh dengan rasa sakit dan kenangan menyedihkan yang melayang-layang. Semua menambah keterpurukan diriku saat ini. Terpuruk dalam kenangan pedih, terpuruk dalam suatu harapan yang tak pasti, dan terpuruk dalam impian yang terlalu tinggi. Mungkin memang tak sepantasnya aku memimpikannya, aku tak punya hak untuk berharap pada sesuatu yang tak pernah memberiku harapan. Tetapi, kenapa hati ini begitu kuat? Kenapa hati ini masih menanti? Kenapa aku bisa seteguh ini memimpikannya?

Jauh di dalam hatiku, aku percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Tetapi tak bisa juga kuingkari kalau kenyataan tak seindah harapan. Terkadang memang kenyataan itu menyakitkan. Namun dalam suatu kejadian pasti ada hikmah yang dapat diambil. Percaya, Tuhan telah mengatur semua untuk makhluk-Nya. Jadi kuputuskan.... untuk melupakanmu. Aku harus benar-benar melupakanmu. Sudah cukup sakit ini kupendam, pedih ini mengiringiku, dan luka ini menemani hidupku. Sudah cukup semua. Sudah cukup penantianku.
Sekejap aku memejamkan mata, berusaha menyembunyikan semua perasaan lampau yang memang harus aku lupakan. Sejak dulu, kemarin, dan mulai saat ini. Kutarik napas panjang-panjang, dalam-dalam, dan kurasakan paru-paruku penuh dengan oksigen. Kutahan sejenak, dan kuhembuskan sekuat-kuatnya mewakili semua perasaan galauku yang terhempas bersama karbon dioksida yang terbang ke awan tanpa bekas. Haaaah..... kubuang semua, dan kurasakan perasaan yang luar biasa nyaman. Sudah lama aku tidak merasakan suasana senyaman ini. Aku baru sadar, aku sudah mencoba untuk merelakan semua dan mengikhlaskannya. Yah....ikhlas.
***

0 Response to "Di Bangku itu...."

Post a Comment

Mohon komentar jangan berbau sara dan merugikan orang lain, semoga wadah ini bisa menjadi sesuatu yang baik buat kita. Isi komentar di luar tanggung jawab kami.

powered by softple