Karanggayam (edisi:1)

Karanggayam adalah sebuah kecamatan di salah satu kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Keadaan wilayah yang dipenuhi dengan pegunungan membuat kami sangat terbatas untuk mendapatkan fasilitas yang lebih. Di sini sampai saat ini wilayah karanggayam hanya mempunyai dua SLTP Negeri dan belum mempunyai satupun SLTA atau setara jadi bisa dibayangkan, kami masyarakat desa harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk menempuh pendidikan setara SLTA. Tapi kami selalu beryukur, kami masih sedikit beruntung jika dibandingkan dengan masyarakat Papua atau masyarakat terpencil lainnya di negara Indonesia tercinta ini.
Dari tempat terpencil ini kami ingin membuat perubahan walaupun perubahan itu tidaklah mudah. Kecenderungan masyarakat di desa kami adalah ketika dia menamatkan sekolah mereka cepat-cepat hijrah ke kota metropolitan. Biasanya tujuan mereka adalah Jakarta, Bandung, Semarang dan yang lain menyebar sesuai siapa yang membawa mereka untuk bekerja. Jangan selalu dibayangkan jika kami di sini menempuh wajib belajar 9 atau 12 tahun sesuai program pemerintah, jika faktor biaya mendukung ya maksimal mereka sampai lulus SLTA atau setara, dan hanya anak-anak yang beruntung yang bisa melanjutkan ke jenjang perkuliahan, ini bisa dipastikan mereka dari anak-anak guru di daerah kami (tidak ada riset). Untuk yang lain adalah anak-anak yang menginginkan perubahan, saya bukan mendiskriminasikan bukan yang anak pejabat pemerintah atau lebih dikenal dengan pegawai negeri, tapi kecenderungan anak PNS untuk bisa mendapatkan pendidikan yang lebih adalah mempunyai dukungan dari segi mental dan material. Faktor inilah yang sekiranya menghambat kemandirian bagi yang tidak mempunyai keberuntungan itu.
Daerah kami hanya mempunyai beberapa usaha home industry, itupun tidak terlalu banyak menyerap pekerja. Jika kalian bisa membandingkan berapa lapangan pekerja yang terserap jika anak-anak daerah kami punya inovasi untuk membangun daerahnya.
Kami yakin kami mempuanyai banyak potensi jika meraka menginginkan perubahan, ada beberapa contoh kasus seperti ini, di salah satu daerah kami banyak menelurkan generasi masa depan dengan kualitas yang sangat baik tapi apa daya faktor keinginan untuk menyekolahkan anak adalah nol (tidak ada) dengan alasan biaya. Dia adalah salah satu yang terbaik di SLTP Negeri di daerah kami tapi apa yang terjadi? Dengan sangat mengecewakan dia tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan tersebut.
Bersyukurlah kalian jika kalian mendapatkan kesempatan yang lebih, mungkin kalian bisa protes kenapa tidak mengajukan beasiswa? Dan masih banyak informasi untuk mendukung itu.
Saya jelaskan untuk kasus ini, Karanggayam sebagai salah satu kecamatan di kabupaten kebumen tidaklah banyak mendukung, apalagi kabupaten kami termasuk kabupaten yang miskin. Untuk urusan informasi, mungkin kami kalah masalah urusan informasi jika dibandingkan anak perkotaan, dicontohkan saja seperti ini, dan ini membuatku sedikit tertawa waktu saya melaksanakan Ujian Nasional (tahun 2004) cerita punya cerita kami tidak heboh mencari bocoran jawaban soal UAN apalagi mendapatkan bocoran jawaban soal, yang kami pikirkan cuma harap-harap cemas agar soal UAN tidak sulit dan pastinya belajar juga, tapi apa yang dilakukan teman-temanku atas cerita-ceritanya. Dengan bangganya dia bercerita dia mendapatkan lebih dari satu jawaban soal UAN, sebenarnya bukan ini yang saya bahas (kebrobrokan pelaksanaan UAN) tapi cepatnya akses informasi yang beredar. Kami di sini mengenal internet belum lama, karanggayam mengenal internet mungkin hanya untuk orang-orang tertentu yang tahu dan bisa menggunakan fasilitasnya. Dan itu menunjukan bukti kalau karanggayam buta informasi global.
Dari kasus di atas faktor orang tua sangatlah penting, jika faktor utama keinginan untuk sekolah adalah dari anak maka di daerah kami faktor tersebut tidak berlaku, faktor orang tua sangat berpengaruh kuat. Apa jadinya ketika mental dipertaruhkan? Hal ini mungkin beda di daerah Jogjakarta (cerita dari seorang teman) walaupun daerah mereka terpencil atau kesulitan biaya sedikitpun mereka tidak patah semangat untuk tetap melanjutkan pendidikan.
Karanggayam sekarang mulai berbenah walaupun masih jauh dari harapan, tapi kami yakin suatu saat karanggayam bisa diperhitungkan di wilayah kebumen. Kami sebagai anak-anak karanggayam menginginkan kehidupan yang lebih baik. Jadi teringat suatu kisah saya, kami sering dikatakan anak pedesaan atau jika orang jawa menyebut kami wong ndeso. Tapi mungkin itulah awal mula semangat kami.

0 Response to "Karanggayam (edisi:1)"

Post a Comment

Mohon komentar jangan berbau sara dan merugikan orang lain, semoga wadah ini bisa menjadi sesuatu yang baik buat kita. Isi komentar di luar tanggung jawab kami.

powered by softple