Tangisan Pagi
12:54 AM
softpeople
, Posted in
Cerita
,
0 Comments
Jam menunjukkan pukul 05.00 selesai sholat seperti biasanya Neina Prameswari membantu ibunya, dia mulai mengerjakan rutinitas kesehariannya yaitu pekerjaan rumah, dari memasak, menyapu halaman, sampai mencuci baju. Sejak kecil dia sudah diajarkan tentang kemandirian oleh kedua orang tuanya, apalagi neina sudah ditinggal pergi ayahnya. Dua tahun silam ayahnya meninggal karena penyakit jantung, meskipun begitu neina tetap tegar menghadapinya, ini ditambah dengan posisi dia sebagai anak tunggal, menjadikan dirinya harapan satu-satunya dikeluarganya. Ibunya harus pergi pagi-pagi sekali menuju ke pasar menjual hasil dagangan mereka. Neina mulai mengerjakan satu persatu pekerjaannya tanpa ada beban sedikitpun, itu terlihat di rona wajahnya yang memancarkan cahaya keikhlasan dari dalam dirinya. Ketika pekerjaan tidak ada lagi yang dikerjakan, neina sejenak merebahkan tubuhnya di serambi depan rumahnya sambil menunggu kedatangan ibunya dari pasar. Sesekali dia menengok ke depan, siapa tahu ibunya membutuhkan bantuannya, pikir neina.
Hingga lama ditunggu, ibunya belum juga kembali neina langsung masuk ke rumah, dengan membawa handuk putih bersihnya dan perlengkapan mandi seadanya, neina langsung menuju sumber mata air yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, tidak seperti anak-anak gadis kota yang perlengkapan mandinya dari a sampai z jenisnya dan mereknya pula, tapi neina hanyalah anak sederhana yang tidak mampu untuk membeli semua itu. Neina mulai membersihkan tubuhnya di sumber mata air yang tidak jauh dari rumahnya. Memang neina bukanlah orang yang serba kecukupan seperti Pak Danu, yang bisa membuat kamar mandi sendiri di dalam rumahnya. Setelah benar-benar bersih membasuh tubuhnya neina mulai merapihkan diri, dia mulai menyisir rambut panjangnya yang indah.Tak diragukan lagi memang neinalah salah satu bunga desa di desa kami, hingga banyak anak-anak muda yang tertarik kepadanya tidak hanya anak laki-laki saja yang kagum padanya, semua yang mengenalnya mendiskripsikan neina adalah wanita yang tidak hanya cantik saja tetapi baik hati, pintar, dan santun. Acap kali dia membantu anak-anak kecil disekitar rumahnya belajar tanpa sepeserpun biaya yang dimintanya atau kalau ada orang tua anak yang memberi sekedar uang terima kasih, neina dengan segera menolaknya, dengan senyum tipisnya neina hanya mengatakan ikhlas dan semua itu dianggapnya selesai.
Sudah hampir jam setengah tujuh ibunya belum juga pulang, tidak seperti biasanya ibunya terlambat pulang, atau mungkin ada urusan lain di jalan, ibunya selalu pulang tepat waktu selambat-lambatnya pulang biasanya jam setengah tujuh. Dia sudah keluar rumah dengan atribut sekolahnya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai menambah cantik dirinya, neina saat ini sekolah disalah satu sekolah paling favorit, dengan modal kemauan keras dan ketekunan menjadikanya dia selalu juara kelas. Ada rasa tidak enak dibenak neina, dia berjalan mondar-mandir di depan rumahnya sambil sesekali menengok ke jalan. Seperti biasanya aku setiap pagi pergi ke sekolah bersama dia, walaupun ada banyak anak yang tidak suka dengan keakraban kami, padahal saat ini kami tidak ada hubungan apa-apa selain hanya teman saja, dan juga karena pesan orang tuaku untuk tidak memilih-milih teman. Ayahku berpesan untuk selalu melindungi dia, entah apa maksud dari ayahku tetapi aku hanya membiarkan saja semua itu berlalu. Tapi kadang-kadang ada rasa tidak suka di dalam diriku kalau ada anak yang mendekati neina.
Setelah memanasi motorku akupun menghampiri neina, dengan senyum manisnya dia membalasku, mungkin senyum seperti itulah yang selama ini aku rindukan. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara orang berteriak, dari kejauhan tampak seorang laki-laki berlari dengan tergopoh-gopoh, dia memberitahukan bahwa ibu neina mengalami kecelakaan tertabrak mobil. Seketika itu neina tidak bisa membendung air matanya, kerasnya tangisanya tidak bisa dibandingkan dengan cobaan apa yang baru saja ia alami. Bagai disambar petir dipagi hari kudekap tubuh neina yang mulai lemas. Tidak sempat kami untuk menuju lokasi kejadian, sebuah mobil pic-up menuju rumah neina, mobil tersebut berhenti tepat di depan kami, sambil menangis ada rasa gemetaran di tubuh neina yang takala itu berada di pelukanku, betapa aku ikut merasakan rintihan hati neina sampai akupun tak bisa berbuat banyak, untuk sekedar bicarapun aku tak mampu. Kudengar suara lirih neina mulai terdengar, tubuhnya lemas sekali segera kuangkat tubuh neina kubawa ke dalam rumah mengikuti jasad ibunya yang bersimbah darah, Menurut saksi mata, ibunya langsung menghembuskan nafas terakhirnya seketika itu. Aku tidak bisa membayangkan betapa hancurnya diriku bila aku yang mengalaminya cobaan seperti itu. Tak lama kemudian orang berdatangan untuk mempersiapkan semuanya, terlihat ayah dan ibuku menghampiri aku sambil mengintruksikan diriku, ibu langsung menggantikan aku menjaga neina yang saat itu belum sadar dari pingsannya, sambil memeluknya dengan rasa kasih sayang yang jarang aku lihat walaupun aku sebagai anaknya sendiri, hampir saja aku meneteskan air mata setelah melihat kejadian itu, ada rasa iri bercampur sedih menghinggapi diriku.
Setelah memanasi motorku akupun menghampiri neina, dengan senyum manisnya dia membalasku, mungkin senyum seperti itulah yang selama ini aku rindukan. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara orang berteriak, dari kejauhan tampak seorang laki-laki berlari dengan tergopoh-gopoh, dia memberitahukan bahwa ibu neina mengalami kecelakaan tertabrak mobil. Seketika itu neina tidak bisa membendung air matanya, kerasnya tangisanya tidak bisa dibandingkan dengan cobaan apa yang baru saja ia alami. Bagai disambar petir dipagi hari kudekap tubuh neina yang mulai lemas. Tidak sempat kami untuk menuju lokasi kejadian, sebuah mobil pic-up menuju rumah neina, mobil tersebut berhenti tepat di depan kami, sambil menangis ada rasa gemetaran di tubuh neina yang takala itu berada di pelukanku, betapa aku ikut merasakan rintihan hati neina sampai akupun tak bisa berbuat banyak, untuk sekedar bicarapun aku tak mampu. Kudengar suara lirih neina mulai terdengar, tubuhnya lemas sekali segera kuangkat tubuh neina kubawa ke dalam rumah mengikuti jasad ibunya yang bersimbah darah, Menurut saksi mata, ibunya langsung menghembuskan nafas terakhirnya seketika itu. Aku tidak bisa membayangkan betapa hancurnya diriku bila aku yang mengalaminya cobaan seperti itu. Tak lama kemudian orang berdatangan untuk mempersiapkan semuanya, terlihat ayah dan ibuku menghampiri aku sambil mengintruksikan diriku, ibu langsung menggantikan aku menjaga neina yang saat itu belum sadar dari pingsannya, sambil memeluknya dengan rasa kasih sayang yang jarang aku lihat walaupun aku sebagai anaknya sendiri, hampir saja aku meneteskan air mata setelah melihat kejadian itu, ada rasa iri bercampur sedih menghinggapi diriku.
Kuteguk secangkir teh hangat yang disediakan istriku, sambil membaca koran pagi sesekali kumakan cemilan yang masih hangat yang baru saja dibuatnya, betapa bahagianya hidupku mendapatkan seorang istri yang tidak hanya cantik, pintar tapi juga bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik. Suara gaduh anak-anak membuat hangat suasana rumah kami. Kami dikaruniai dua orang anak yang lucu-lucu yaitu Neisyla Rhuden dan Niandra Rhuden, lengkaplah sudah keluarga kami.
Aku mulai berbenah untuk melaksanakan kewajibanku sebagai pegawai yang baik, sekarang ini aku bekerja di salah satu bank di kota kami, sedangkan istriku bekerja sebagai pengajar di salah satu sekolah negeri di kota kami, dia merasa senang dan bangga karena apa yang ia cita-citakan sejak dulu menjadi seorang pengajar tercapai sudah, itu setimpal dengan ketekunan dan kerja kerasnya yang dilakukan selama ini. Dia adalah Neina Prameswari istri yang sekaligus sahabatku.
17 Maret 2007Heru Deandra
0 Response to "Tangisan Pagi"
Post a Comment
Mohon komentar jangan berbau sara dan merugikan orang lain, semoga wadah ini bisa menjadi sesuatu yang baik buat kita. Isi komentar di luar tanggung jawab kami.